Model Konseptualisasi
Masalah dari Swensen
( Diambil dari
Konseptualisasi model dalam konseling-
http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html)
Model konseptual
masalah dari Swensen merupakan model awal dalam bidang asesmen masalah. Secara
teoretik, dalam mengembangkan modelnya itu Swensen dibantu oleh pemikiran
Lewin dan Pascal. Model konseptualisasi
masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konselor untuk beberapa hal,
diantaranya :
1. Perilaku menyimpang (deviant
behaviour) menunjuk pada berbagai bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan, tuntutan, atau nilai yang diterapkan oleh masyarakat, atau menyimpang
dari perilaku yang seharusnya ditampilkan sesuai dengan tingkat perkembangan
klien. Beberapa bentuk konkrit dari gangguan perilaku ini antara lain adalah:
kecemasan, depresi, agresi anti sosial,
kenakalan, senang menyontek, penyalahgunaan narkoba, tindak kriminal,
malas, anoreksia, bulimia, dan sebaginya.
2. Tekanan (stress) meliputi situasi-situasi
yang mengandung tekanan atau tegangan yang tidak menyenangkan klien dan selalu
menghasilkan sensasi fisiologis seperti denyut jantung berdebar-debar, pusing/sakit kepala, mual
atau gangguan perut lainnya, keluar keringat dingin, telapak tangan berkeringat,
dan sebaginya.
3. Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan ego
maladaptif menunjuk pada perilaku negatif atau destruktif dan berbagai bentuk
kebiasaan pertahanan ego yang maladaptif klien dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam rangka untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadinya atau dalam
hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
Model konseptualisasi
masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konseloruntuk beberapa hal.
1. Model Swensen dapat digunakan oleh
konselor untukmelihat, mendengar, atau menangkap apa yang sedang terjadi pada
diri kliennya dan untuk mengembangkan beberapa dugaan teoretik atau hipotesis
menyangkut masalah klien. Sebagai contoh, dari contoh kasus yang telah
dikemukakan kita dapat memperoleh suatu gambaran tentang seorang anak laki-laki
yang menampakkan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan
yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah
belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan
maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih
unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan
merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah.
Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan
pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti
kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan
atlet renang di sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan
adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan
mengikuti test. Konselor dapat menggunakan informasi tersebut guna membuat
beberapa hipotesis menyangkut gejala perilaku klien, meliputi (tetapi tidak
terbatas) hal-hal berikut :
a. Terdapat banyak kompetisi di dalam diri
klien dan saudaranya yang lebih tua untuk memperoleh perhatian orang tua. Klien
seringkali merasa bahwa saudaranya lebih banyak mengalahkan dirinya.
b. Klien tidak pernah merasa harus
bertanggung jawab menyangkut dirinya dan perilakunya.
c. Klien mungkin merasa bahwa masalahnya
memberikan suatu alasan untuk menjaga keutuhan perkawinan orang tuanya.
d. Klien merasa tidak senang dalam suatu
situasi yang tidak terstruktur dan menampakkan bukti respon adaptif dalam
situasi yang terstruktur dan agak kompetitif. Kenyataannya, klien sepertinya
dapat tumbuh dengan pesat pada situasi kompetisi sehingga ia dapat membuktikan
bahwa ia mampu berenang dengan baik.
2. model Swensen dapat membantu konselor untuk memutuskan macam pendekatan
perlakuan yang manakah (atau kombinasi strategi) yang dapat digunakan untuk
membantu klien. Seringkali keputusan ini dibuat sesuai dengan model-model
teoritik, perkiraan, dan dikaitkan dengan potensi/kekuatan. Sebagai contoh,
konselor dari pendekatan berpusat pada pribadi (person-centered) mungkin
memusatkan perhatian pada kurangnya kesadaran, kongruensi, dan aktualisasi diri
klien. Konselor dari pendekatan realita mungkin memperhatikan pada perilaku
tidak bertanggung jawab klien dan bagaimana ia dapat belajar untuk mengambil
tanggung jawab bagi tindakan-tindakannya. Sedangkan konselor Adlerian lebih
memusatkan perhatian pada situasi kompetitif antara klien dan saudaranya dan
berupaya membantu klien memperoleh minat sosial atau mengembangkan suatu rasa
memiliki yang lebih baik, di rumah dan di sekolah. Konselor dari perspektif
analisisis transaksional akan memandang klien dalam hubungannya dengan orang
lain dari kondisi “ego anak” nya dan kemudian berusaha menemukan kondisi ego yang lain guna mengubah
perilaku klien. Konselor Gestalt akan berfokus pada keretakan atau polarisasi,
atau tidak adanya kongruensi dalam kehidupan dan kepribadian klien, seperti
dinampakkan dalam beberapa perasaan dan tindakan klien, dan juga pada gagasan
introyeksi dan/atau proyeksi yang dibuat klien. sedangkan para konselor
kognitif akan melihat kemungkinan adanya kognisi, keyakinan, atau
pernyataan-pernyataan diri negatif yang ada di balik kebiasaan dan perilaku
maladaptif klien dan kemudian berusaha untuk membantu klien untuk menghentikan
atau menggantinya dengan kognisi lain yang lebih positif. Para konselor
keluarga (family counseling) akan memusatkan perhatian pada peran dan
batas-batas hubungan keluarga klien dan pada hubungan perkawinan orang tuanya.
Sedangkan para konselor perilaku akan lebih memusatkan perhatian pada
pengubahan sebab-sebab yang mempertahankan kebiasaan perilaku maladaptif klien
dan kemudian memperkuat kebiasaan perilaku adaptif klien. Idealnya, keputusan
tentang pendekatan mana yang harus digunakan oleh konselor akan tergantung pada
sejumlah faktor, tidak hanya pada kefanatikan (preferensi) konselor pada suatu
teori konseling tertentu. Alih-alih mengedepankan preferensi teoretiknya,
konselor seharusnya memilih pendekatan intervensi yang memiliki kemungkinan
paling baik untuk membantu klien memecahkan masalah dan mencapi tujuan yang
diinginkannya.
3. cara yang lebih umum dimana model
konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan adalah dengan memeriksa
rasio dari faktor-faktor dalam numerator formula dengan faktor-faktor sekarang
dalam denominator. Menurut Swensen (1968, h. 31), “Banyak penurunan dalam
faktor dalam numerator formula (stres, kebiasaan maladaptif, dan pertahanan)
dapat mengurangi defisit psikologis; sebaliknya meningkatkan faktor yang
didaftar di dalam denominator (kekuatan, dukungan, pertahanan dan kebiasaan
adaptif)” dapat meningkatkan kesehatan psikologis.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar