Rabu, 03 Juli 2013

MODEL KONSEPTUALISASI SWEAN


Model Konseptualisasi Masalah dari Swensen

( Diambil dari Konseptualisasi model dalam konseling- http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html)
Model konseptual masalah dari Swensen merupakan model awal dalam bidang asesmen masalah. Secara teoretik, dalam mengembangkan modelnya itu Swensen dibantu oleh pemikiran Lewin  dan Pascal. Model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konselor untuk beberapa hal, diantaranya :
1.         Perilaku menyimpang (deviant behaviour) menunjuk pada berbagai bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, tuntutan, atau nilai yang diterapkan oleh masyarakat, atau menyimpang dari perilaku yang seharusnya ditampilkan sesuai dengan tingkat perkembangan klien. Beberapa bentuk konkrit dari gangguan perilaku ini antara lain adalah: kecemasan, depresi, agresi anti sosial,  kenakalan, senang menyontek, penyalahgunaan narkoba, tindak kriminal, malas, anoreksia, bulimia, dan sebaginya.

2.         Tekanan (stress) meliputi situasi-situasi yang mengandung tekanan atau tegangan yang tidak menyenangkan klien dan selalu menghasilkan sensasi fisiologis seperti denyut jantung  berdebar-debar, pusing/sakit kepala, mual atau gangguan perut lainnya, keluar keringat dingin, telapak tangan berkeringat, dan sebaginya.
3.         Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan ego maladaptif menunjuk pada perilaku negatif atau destruktif dan berbagai bentuk kebiasaan pertahanan ego yang maladaptif klien dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam rangka untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadinya atau dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
Model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konseloruntuk beberapa hal.
1.         Model Swensen dapat digunakan oleh konselor untukmelihat, mendengar, atau menangkap apa yang sedang terjadi pada diri kliennya dan untuk mengembangkan beberapa dugaan teoretik atau hipotesis menyangkut masalah klien. Sebagai contoh, dari contoh kasus yang telah dikemukakan kita dapat memperoleh suatu gambaran tentang seorang anak laki-laki yang menampakkan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah. Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet renang di sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan mengikuti test. Konselor dapat menggunakan informasi tersebut guna membuat beberapa hipotesis menyangkut gejala perilaku klien, meliputi (tetapi tidak terbatas) hal-hal berikut :
a.         Terdapat banyak kompetisi di dalam diri klien dan saudaranya yang lebih tua untuk memperoleh perhatian orang tua. Klien seringkali merasa bahwa saudaranya lebih banyak mengalahkan dirinya.
b.         Klien tidak pernah merasa harus bertanggung jawab menyangkut dirinya dan perilakunya.
c.         Klien mungkin merasa bahwa masalahnya memberikan suatu alasan untuk menjaga keutuhan perkawinan orang tuanya.
d.         Klien merasa tidak senang dalam suatu situasi yang tidak terstruktur dan menampakkan bukti respon adaptif dalam situasi yang terstruktur dan agak kompetitif. Kenyataannya, klien sepertinya dapat tumbuh dengan pesat pada situasi kompetisi sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia mampu berenang dengan baik.
2.         model Swensen dapat membantu  konselor untuk memutuskan macam pendekatan perlakuan yang manakah (atau kombinasi strategi) yang dapat digunakan untuk membantu klien. Seringkali keputusan ini dibuat sesuai dengan model-model teoritik, perkiraan, dan dikaitkan dengan potensi/kekuatan. Sebagai contoh, konselor dari pendekatan berpusat pada pribadi (person-centered) mungkin memusatkan perhatian pada kurangnya kesadaran, kongruensi, dan aktualisasi diri klien. Konselor dari pendekatan realita mungkin memperhatikan pada perilaku tidak bertanggung jawab klien dan bagaimana ia dapat belajar untuk mengambil tanggung jawab bagi tindakan-tindakannya. Sedangkan konselor Adlerian lebih memusatkan perhatian pada situasi kompetitif antara klien dan saudaranya dan berupaya membantu klien memperoleh minat sosial atau mengembangkan suatu rasa memiliki yang lebih baik, di rumah dan di sekolah. Konselor dari perspektif analisisis transaksional akan memandang klien dalam hubungannya dengan orang lain dari kondisi “ego anak” nya dan kemudian berusaha  menemukan kondisi ego yang lain guna mengubah perilaku klien. Konselor Gestalt akan berfokus pada keretakan atau polarisasi, atau tidak adanya kongruensi dalam kehidupan dan kepribadian klien, seperti dinampakkan dalam beberapa perasaan dan tindakan klien, dan juga pada gagasan introyeksi dan/atau proyeksi yang dibuat klien. sedangkan para konselor kognitif akan melihat kemungkinan adanya kognisi, keyakinan, atau pernyataan-pernyataan diri negatif yang ada di balik kebiasaan dan perilaku maladaptif klien dan kemudian berusaha untuk membantu klien untuk menghentikan atau menggantinya dengan kognisi lain yang lebih positif. Para konselor keluarga (family counseling) akan memusatkan perhatian pada peran dan batas-batas hubungan keluarga klien dan pada hubungan perkawinan orang tuanya. Sedangkan para konselor perilaku akan lebih memusatkan perhatian pada pengubahan sebab-sebab yang mempertahankan kebiasaan perilaku maladaptif klien dan kemudian memperkuat kebiasaan perilaku adaptif klien. Idealnya, keputusan tentang pendekatan mana yang harus digunakan oleh konselor akan tergantung pada sejumlah faktor, tidak hanya pada kefanatikan (preferensi) konselor pada suatu teori konseling tertentu. Alih-alih mengedepankan preferensi teoretiknya, konselor seharusnya memilih pendekatan intervensi yang memiliki kemungkinan paling baik untuk membantu klien memecahkan masalah dan mencapi tujuan yang diinginkannya.
3.         cara yang lebih umum dimana model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan adalah dengan memeriksa rasio dari faktor-faktor dalam numerator formula dengan faktor-faktor sekarang dalam denominator. Menurut Swensen (1968, h. 31), “Banyak penurunan dalam faktor dalam numerator formula (stres, kebiasaan maladaptif, dan pertahanan) dapat mengurangi defisit psikologis; sebaliknya meningkatkan faktor yang didaftar di dalam denominator (kekuatan, dukungan, pertahanan dan kebiasaan adaptif)” dapat meningkatkan kesehatan psikologis.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar