Rabu, 03 Juli 2013

KEPRIBADIAN ISLAM


KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Manusia Menurut Pandangan Islam

Allah SWT menciptakan struktur kepribadian manusia dalam bentuk potensial. Struktur itu tidak secara otomatis bernilai baik ataupun buruk, sebelum manusia berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi struktur sangat tergantung pada pilihan manusia, yang mana pilihannya itu akan dimintai pertanggungjawaban diakhirat kelak. Upaya manusia untuk memilih dan mengaktualisasikan potensi itu memiliki dinamika proses, seiring dengan variabel-variabel yang mempengaruhi.

1. Manusia Adalah Makhluk Allah

Keberadaan manusia di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil proses evolusi alami, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Robbul ‘Alamin. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya mempunyai ketergantungan (dependent) kepada-Nya. Manusia tidak bisa lepas dari ketentuan-Nya. Sebagai makhluk, manusia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang, atau merekayasa yang sudah dipastikan-Nya.

Dalam Al-Qur’an, Surat at-Tin: 4, Allah SWT berfirman:

“sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat baik (sempurna)”.

Manusia adalah makhluk Allah, ciptaan Allah, dan secara kodrati merupakan makhluk beragama atau pengabdi Allah, seperti tercermin dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut.

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Muslim).

Sesuai dengan fitrahnya tersebut, manusia bertugas untuk mengabdi kepada Allah, seperti difirmankan Allah sebagai berikut.

(Q.S. Adz Dzariyat: 56).

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”

2. Manusia Adalah Khalifah di Muka Bumi

Hal ini berarti, manusia berdasarkan fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis (mementingkan/membantu orang lain). Menilik fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan untuk bersosialisasi, berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang lain atau lingkungannya. Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau tanggung jawab (responsibility) untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera; dan berupaya mencegah (preventif) terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup (regional-global).

Dalam Surat Al-Baqarah: 30 difirmankan sebagai berikut:

“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya aku menciptakan khalifah di muka bumi”.

Selanjutnya dalam Surat Hud: 61 difirmankan:

“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)”



Manusia menciptakan kebudayaan dengan segala unsurnya (ilmu, teknologi, seni, dan sebagainya) agar mampu mengelola alam itu dengan sebaik-baiknya. Manusia menurut islam merupakan “khalifah di muka bumi”. Artinya manusia berfungsi sebagai pengelola alam dan memakmurkannya. Ini tersurat dan tersirat dari firman Allah sebagai berikut. (Q.S. Fatir: 39).


Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah di muka bumi (Q.S. Fatir: 39). Selanjutnya Allah berfirman: Dan Dia menundukkan untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya (Q.S. Al-Jasiyah: 3).

3. Manusia adalah Makhluk yang Mempunyai Fitrah Beragama

Melalui fitrahnya ini manusia mempunyai kemampuan untuk menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, dan sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai tolak ukur atau rujukan perilakunya.

Allah SWT berfirman: “.......bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, ya kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. (Al-‘Araf: 172).

4. Manusia Berpotensi Baik (Takwa) dan Buruk (Fujur)

Manusia dalam hidupnya mempunyai dua kecenderungan atau arah perkembangan, yaitu takwa, sifat positif (beriman dan beramal shaleh) dan yang fujur, sifat negatif (musyrik, kufur, dan berbuat ma’syiat/jahat/buruk/dzalim). Dua kutub kekuatan ini, saling mempengaruhi. Kutub pertama mendorong individu untuk berperilaku yang normatif (merujuk nilai-nilai kebenaran), dan Kutub lain mendorong individu untuk berperilaku secar inpulsif (dorongan naluriah, instinktif, hawa nafsu). Dengan demikian, mmanusia dalam hidupnya senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah atau baik-buruk.

Dalam Surat Asy-Syamsu: 8-10, difirmankan:

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.

5. Manusia Memiliki Kebebasan Memilih (Free Choice)

Dalam surat Ar-Ra’du: 11, Allah berfirman:

“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang dimiliki (termasuk dirinya) suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah (berinisiatif merekayasa) dirinya sendiri”.

Manusia diberi kebebasan untuk memilih kehidupannya, apakah mau beriman atau kufur kepada Allah. Apakah manusia akan memilih jalan hidup yang sesuai dengan ajaran agama atau memperturutkan hawa nafsunya. Dalam hal ini, manusia mempunyai kemampuan untuk berupaya menyelaraskan arah perkembangan dirinya dengan tuntutan normatif, nilai-nilai kebenaran, yang dapat memberikan kontribusi atau nilai manfaat bagi kesejahteraan umat manusia; juga memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan yang berseberangan dengan nilai-nilai agama, sehingga menimbulkan suasana kehidupan (personal-sosial) yang chaos, anarki, destruktif atau tidak nyaman.[1] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar