KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Manusia Menurut Pandangan Islam
Allah SWT menciptakan struktur kepribadian manusia dalam
bentuk potensial. Struktur itu tidak secara otomatis bernilai baik ataupun
buruk, sebelum manusia berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi struktur sangat
tergantung pada pilihan manusia, yang mana pilihannya itu akan dimintai
pertanggungjawaban diakhirat kelak. Upaya manusia untuk memilih dan
mengaktualisasikan potensi itu memiliki dinamika proses, seiring dengan
variabel-variabel yang mempengaruhi.
1. Manusia Adalah Makhluk Allah
Keberadaan manusia di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau
hasil proses evolusi alami, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Robbul
‘Alamin. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya mempunyai ketergantungan
(dependent) kepada-Nya. Manusia tidak bisa lepas dari ketentuan-Nya. Sebagai
makhluk, manusia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa
menolak, menentang, atau merekayasa yang sudah dipastikan-Nya.
Dalam Al-Qur’an, Surat at-Tin: 4, Allah SWT berfirman:
“sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sangat baik (sempurna)”.
Manusia adalah makhluk Allah, ciptaan Allah, dan secara
kodrati merupakan makhluk beragama atau pengabdi Allah, seperti tercermin dalam
sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Muslim).
Sesuai dengan fitrahnya tersebut, manusia bertugas untuk
mengabdi kepada Allah, seperti difirmankan Allah sebagai berikut.
(Q.S. Adz Dzariyat: 56).
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka
beribadah kepada-Ku”
2. Manusia Adalah Khalifah di Muka Bumi
Hal ini berarti, manusia berdasarkan fitrahnya adalah
makhluk sosial yang bersifat altruis (mementingkan/membantu orang lain). Menilik
fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan untuk bersosialisasi,
berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang lain atau
lingkungannya. Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau tanggung jawab
(responsibility) untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan
tatanan kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera; dan berupaya mencegah
(preventif) terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan
lingkungan hidup (regional-global).
Dalam Surat Al-Baqarah: 30 difirmankan sebagai berikut:
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat
sesungguhnya aku menciptakan khalifah di muka bumi”.
Selanjutnya dalam Surat Hud: 61 difirmankan:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a
hamba-Nya)”
Manusia menciptakan kebudayaan dengan segala unsurnya (ilmu,
teknologi, seni, dan sebagainya) agar mampu mengelola alam itu dengan sebaik-baiknya.
Manusia menurut islam merupakan “khalifah di muka bumi”. Artinya manusia
berfungsi sebagai pengelola alam dan memakmurkannya. Ini tersurat dan tersirat
dari firman Allah sebagai berikut. (Q.S. Fatir: 39).
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah di muka bumi (Q.S.
Fatir: 39). Selanjutnya Allah berfirman: Dan Dia menundukkan untukmu apa-apa
yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat
dari-Nya (Q.S. Al-Jasiyah: 3).
3. Manusia adalah Makhluk yang Mempunyai Fitrah Beragama
Melalui fitrahnya ini manusia mempunyai kemampuan untuk
menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, dan sekaligus
menjadikan kebenaran agama itu sebagai tolak ukur atau rujukan perilakunya.
Allah SWT berfirman: “.......bukanlah Aku ini Tuhanmu?
Mereka menjawab, ya kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. (Al-‘Araf:
172).
4. Manusia Berpotensi Baik (Takwa) dan Buruk (Fujur)
Manusia dalam hidupnya mempunyai dua kecenderungan atau arah
perkembangan, yaitu takwa, sifat positif (beriman dan beramal shaleh) dan yang
fujur, sifat negatif (musyrik, kufur, dan berbuat ma’syiat/jahat/buruk/dzalim).
Dua kutub kekuatan ini, saling mempengaruhi. Kutub pertama mendorong individu
untuk berperilaku yang normatif (merujuk nilai-nilai kebenaran), dan Kutub lain
mendorong individu untuk berperilaku secar inpulsif (dorongan naluriah,
instinktif, hawa nafsu). Dengan demikian, mmanusia dalam hidupnya senantiasa
dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah atau baik-buruk.
Dalam Surat Asy-Syamsu: 8-10, difirmankan:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan
takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang
yang mengotori jiwanya”.
5. Manusia Memiliki Kebebasan Memilih (Free Choice)
Dalam surat Ar-Ra’du: 11, Allah berfirman:
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang dimiliki
(termasuk dirinya) suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah (berinisiatif
merekayasa) dirinya sendiri”.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih kehidupannya, apakah
mau beriman atau kufur kepada Allah. Apakah manusia akan memilih jalan hidup
yang sesuai dengan ajaran agama atau memperturutkan hawa nafsunya. Dalam hal
ini, manusia mempunyai kemampuan untuk berupaya menyelaraskan arah perkembangan
dirinya dengan tuntutan normatif, nilai-nilai kebenaran, yang dapat memberikan
kontribusi atau nilai manfaat bagi kesejahteraan umat manusia; juga memiliki
kemampuan untuk menjalani kehidupan yang berseberangan dengan nilai-nilai
agama, sehingga menimbulkan suasana kehidupan (personal-sosial) yang chaos,
anarki, destruktif atau tidak nyaman.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar