Rabu, 03 Juli 2013

MODEL KONSEPTUALISASI SEAY


Model konseptualisasi masalah dari Seay. 
Model seay dalam http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html, Mengintegrasikan teknik konseling dan isi tematik. Model ini didasarkan pada tema hidup utama (dan gaya hidup) yang ditarik dari tiga modalitas utama fungsi manusia yaitu: kognisi (pikiran), afeksi (perasaan, emosi), dan perilaku (tindakan, kinerja), yang diberi akronim “CAB.”
Contoh kasus :
Klien adalah seorang siswa kelas VIII dengan jenis kelamin perempuan yang menyatakan tidak memiliki banyak pilihan karena ia takut untuk pergi ke sekolah sendirian. Ia juga melaporkan mengalami depresi yang disebabkan oleh kritik terus-menerus dari saudara-saudaranya karena ketergantungannya itu. Klien juga mengalami gangguan tidur dan kehilangan selera makan. Dari wawancara yang mendalam dengan klien diperoleh informasi bahwa klien hidup dalam keluarga dengan ayah yang keras dalam mendidik. Klien juga menyatakan, sebagai seorang anak ia sabar menghadapi kekerasan ayahnya. Terhadap kritikan saudara-saudaranya, ia hanya mendengarkan saja dan tidak memberikan tanggapan, meskipun ia menyatakan merasa “bosan” dan “terganggu” dengan kritikan yang terus menerus itu. Klien juga menyatakan keyakinannya bahwa ia seorang yang gagal dan tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri. Namun, data hasil tes menunjukkan bahwa ia sangat intelegen. Prestasi belajar klien juga tergolong bagus karena ia berada pada ranking sepuluh besar di kelasnya. Selama wawancara awal, ia seringkali menangis dan berbicara dengan suara yang lirih dan tersendat-sendat.
Tabel Model konseptualisasi masalah darai Seay
KEMUNGKINAN LINGKUNGAN            KESALAHAN KOGNITIF  GANGGUAN AFEKTIF POLA PERILAKU
Cara mendidik ayah yang keras          Pikiran gagal   Kecemasan/ketergantuang emosional
Saudara terus-menerus mengkritik      Menyalahkan diri        Tak dapat pergi ke sekolah sendirian
            Kurang percaya diri
            Mendiamkan kritikan saudara-saudaranya meskipun merasa bosan dan terganggu
                        Bicara pelan, tersendat
                        Gangguan tidur
                        Kehilangan nafsu makan
                        Kadang menangis dalam wawancara

Informasi yang diungkap tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan hipotesis tentang masalah klien dan untuk merencanakan suatu program bantuan yang komprehensip. Sebagai contoh, dalam kasus yang telah dikemukakan, satu dari tema utama adalah kognitif dan meliputi persepsi negatif tentang diri. Tema ini barangkali berawal dari kekerasan ayahnya dan yang kemudian diperkuat/dipertahankan melalui kritikan yang terus menerus dari audara-saudaranya. Meskipun kekasaran verbal yang terus menerus tampak memberikan sumber tekanan, klien tampaknya juga menggunakannya sebagai alat untuk menguatkan atau membenarkan persepsinya terhadap dirinya sebagai orang tergantung dan gagal, dan mendorongnya untuk menghindari situasi yang mendatangkan kecemasan, seperti berangkat ke sekolah sendiri.
Gangguan afektif dalam bentuk kecemasan dan depresi mewakili perasaan marah dan tidak puas yang ditekan di dalam batin. Emosi tersebut, seperti tema kognitif, menegaskan kurang adanya rasa percaya diri atau cara klien mencela/mengutuk dirinya. Emosi ini sebagai hasil dari peristiwa lingkungan dan kesalahan persepsi. Perilaku-perilaku yang dapat diamati seperti menangis, bicara pelan dan tersendat, gangguan tidur, dan kehilangan berat badan mengkonfirmasikan laporan klien tentang perasaan depresifnya. Kesalahan persepsi kognitif dan gangguan afektif tersebut mendukung klien untuk bertindak pasif terhadap kritikan saudaranya. Untuk perencanaan perlakuan, fokus awal konselor dapat memusatkan perhatian pada peristiwa lingkungan dan kesalahan kognitif klien yang menyebabkan terbentuknya pola perilaku dan emosi maladaptif. Sebagai contoh, klien mungkin dapat dibantu dengan menggunakan strategi Gestalt, analisis transaksional, atau latihan asertif untuk mengeksplorasi perasaan-perasaannya yang berkaitan dengan kekasaran ayah dan saudaranya (peristiwa lingkungan) dan kemudian membantunya mengubah reaksinya terhadap tekanan lingkungan tersebut. Teknik-teknik kognitif-perilaku dan rasional-emotif mungkin juga efektif untuk menangani kesalahan persepsi atau kognisi klien. Konselor juga dapat membantu klien melalui strategi perilaku dengan cara melatih klien untuk berangkat ke sekolah sendirian.

a.      Model konseptualisasi masalah dari Swensen
Perilaku menyimpang
Tekanan
Kebiasaan maladaptif
Ø Berkelahi
Ø Mencuri milik orang lain
Ø Menentang orang tua
Ø Malas belajar
Ø Lebih suka keluar rumah
Ø Orang tua terlalu menuntut
Ø Kurang mendapat kasih sayang orang tua
Ø Merasa tidak berguna dihadapan orang tua
Ø Orang tua tidak pernah menghargai atas prestasi-prestasi belajar yang diperoleh saat ini
Ø Kurang percaya diri
Ø Tidak mampu menjalin komunikasi dengan orang tua
Ø Tidak dapat menilai baik atau buruknya sesuatu hal
Dukungan
Potensi
Kebiasaan adaptif
Ø Guru FA membantu agar dia tidak berulah lagi
Ø Memiliki intelegensi yang tinggi
Ø Memiliki prestasi belajar yang memuaskan
Ø nilai dalam sekolahnya sangat tinggi
Ø Rajin belajar
                                          
b.      Model konseptualisasi model Seay
Kemungkinan lingkungan
Kesalahan kognitif
Gangguan afektif
Pola perilaku
1.    Kurangnya kasih sayang orang tua.
2.    Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak.
3.    Orang tua terlalu menuntut FA.
4.    Orang tua selalu menyalahkan dan tidak menghargai atas prestasi-prestasi belajar yang diperoleh FA.
5.    Tidak adanya komunikasi yang baik antara klien dan orang tuanya.
1.    Kurang percaya diri/minder.
2.    Merasa tidak berguna di depan orang tuanya.
3.    Konsep diri yang salah.
1.    Stres.
2.    Merasa tertekan berada di rumah.
1.    Sering berkelahi.
2.    Mencuri milik orang lain.
3.    Malas belajar.
4.    Menentang orang tua.



MODEL KONSEPTUALISASI SWEAN


Model Konseptualisasi Masalah dari Swensen

( Diambil dari Konseptualisasi model dalam konseling- http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html)
Model konseptual masalah dari Swensen merupakan model awal dalam bidang asesmen masalah. Secara teoretik, dalam mengembangkan modelnya itu Swensen dibantu oleh pemikiran Lewin  dan Pascal. Model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konselor untuk beberapa hal, diantaranya :
1.         Perilaku menyimpang (deviant behaviour) menunjuk pada berbagai bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, tuntutan, atau nilai yang diterapkan oleh masyarakat, atau menyimpang dari perilaku yang seharusnya ditampilkan sesuai dengan tingkat perkembangan klien. Beberapa bentuk konkrit dari gangguan perilaku ini antara lain adalah: kecemasan, depresi, agresi anti sosial,  kenakalan, senang menyontek, penyalahgunaan narkoba, tindak kriminal, malas, anoreksia, bulimia, dan sebaginya.

2.         Tekanan (stress) meliputi situasi-situasi yang mengandung tekanan atau tegangan yang tidak menyenangkan klien dan selalu menghasilkan sensasi fisiologis seperti denyut jantung  berdebar-debar, pusing/sakit kepala, mual atau gangguan perut lainnya, keluar keringat dingin, telapak tangan berkeringat, dan sebaginya.
3.         Perilaku, kebiasaan, dan pertahanan ego maladaptif menunjuk pada perilaku negatif atau destruktif dan berbagai bentuk kebiasaan pertahanan ego yang maladaptif klien dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam rangka untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadinya atau dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
Model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan oleh para konseloruntuk beberapa hal.
1.         Model Swensen dapat digunakan oleh konselor untukmelihat, mendengar, atau menangkap apa yang sedang terjadi pada diri kliennya dan untuk mengembangkan beberapa dugaan teoretik atau hipotesis menyangkut masalah klien. Sebagai contoh, dari contoh kasus yang telah dikemukakan kita dapat memperoleh suatu gambaran tentang seorang anak laki-laki yang menampakkan sejumlah “gangguan perilaku” yang berkaitan dengan tekanan yang ia rasakan di sekolah dan di lingkungan keluarganya. Anak ini telah belajar untuk merespon terhadap tekanan-tekanan tersebut dengan pola kebiasaan maladaptif, seperti menyetujui pendapat orang tuanya bahwa kakaknya lebih unggul dari dirinya, bertindak dengan cara yang kurang bertanggung jawab, dan merasa cemas di dalam situasi yang tak terstruktur, khususnya di sekolah. Namun, untungnya ia memiliki dua sumber bantuan di sekolah, yaitu konselor dan pelatih renangnya. Ia juga memiliki beberapa hal positif lain, seperti kesehatan yang baik, intelegensi yang cukup, dan menjadi anggota perkumpulan atlet renang di sekolah. Klien juga memperlihatkan beberapa pola perilaku dan pertahanan adaptif dalam situasi tertentu, seperti memenuhi situasi-situasi kompetisi dan mengikuti test. Konselor dapat menggunakan informasi tersebut guna membuat beberapa hipotesis menyangkut gejala perilaku klien, meliputi (tetapi tidak terbatas) hal-hal berikut :
a.         Terdapat banyak kompetisi di dalam diri klien dan saudaranya yang lebih tua untuk memperoleh perhatian orang tua. Klien seringkali merasa bahwa saudaranya lebih banyak mengalahkan dirinya.
b.         Klien tidak pernah merasa harus bertanggung jawab menyangkut dirinya dan perilakunya.
c.         Klien mungkin merasa bahwa masalahnya memberikan suatu alasan untuk menjaga keutuhan perkawinan orang tuanya.
d.         Klien merasa tidak senang dalam suatu situasi yang tidak terstruktur dan menampakkan bukti respon adaptif dalam situasi yang terstruktur dan agak kompetitif. Kenyataannya, klien sepertinya dapat tumbuh dengan pesat pada situasi kompetisi sehingga ia dapat membuktikan bahwa ia mampu berenang dengan baik.
2.         model Swensen dapat membantu  konselor untuk memutuskan macam pendekatan perlakuan yang manakah (atau kombinasi strategi) yang dapat digunakan untuk membantu klien. Seringkali keputusan ini dibuat sesuai dengan model-model teoritik, perkiraan, dan dikaitkan dengan potensi/kekuatan. Sebagai contoh, konselor dari pendekatan berpusat pada pribadi (person-centered) mungkin memusatkan perhatian pada kurangnya kesadaran, kongruensi, dan aktualisasi diri klien. Konselor dari pendekatan realita mungkin memperhatikan pada perilaku tidak bertanggung jawab klien dan bagaimana ia dapat belajar untuk mengambil tanggung jawab bagi tindakan-tindakannya. Sedangkan konselor Adlerian lebih memusatkan perhatian pada situasi kompetitif antara klien dan saudaranya dan berupaya membantu klien memperoleh minat sosial atau mengembangkan suatu rasa memiliki yang lebih baik, di rumah dan di sekolah. Konselor dari perspektif analisisis transaksional akan memandang klien dalam hubungannya dengan orang lain dari kondisi “ego anak” nya dan kemudian berusaha  menemukan kondisi ego yang lain guna mengubah perilaku klien. Konselor Gestalt akan berfokus pada keretakan atau polarisasi, atau tidak adanya kongruensi dalam kehidupan dan kepribadian klien, seperti dinampakkan dalam beberapa perasaan dan tindakan klien, dan juga pada gagasan introyeksi dan/atau proyeksi yang dibuat klien. sedangkan para konselor kognitif akan melihat kemungkinan adanya kognisi, keyakinan, atau pernyataan-pernyataan diri negatif yang ada di balik kebiasaan dan perilaku maladaptif klien dan kemudian berusaha untuk membantu klien untuk menghentikan atau menggantinya dengan kognisi lain yang lebih positif. Para konselor keluarga (family counseling) akan memusatkan perhatian pada peran dan batas-batas hubungan keluarga klien dan pada hubungan perkawinan orang tuanya. Sedangkan para konselor perilaku akan lebih memusatkan perhatian pada pengubahan sebab-sebab yang mempertahankan kebiasaan perilaku maladaptif klien dan kemudian memperkuat kebiasaan perilaku adaptif klien. Idealnya, keputusan tentang pendekatan mana yang harus digunakan oleh konselor akan tergantung pada sejumlah faktor, tidak hanya pada kefanatikan (preferensi) konselor pada suatu teori konseling tertentu. Alih-alih mengedepankan preferensi teoretiknya, konselor seharusnya memilih pendekatan intervensi yang memiliki kemungkinan paling baik untuk membantu klien memecahkan masalah dan mencapi tujuan yang diinginkannya.
3.         cara yang lebih umum dimana model konseptualisasi masalah dari Swensen dapat digunakan adalah dengan memeriksa rasio dari faktor-faktor dalam numerator formula dengan faktor-faktor sekarang dalam denominator. Menurut Swensen (1968, h. 31), “Banyak penurunan dalam faktor dalam numerator formula (stres, kebiasaan maladaptif, dan pertahanan) dapat mengurangi defisit psikologis; sebaliknya meningkatkan faktor yang didaftar di dalam denominator (kekuatan, dukungan, pertahanan dan kebiasaan adaptif)” dapat meningkatkan kesehatan psikologis.”

PERBANDINGAN KASUS


A.      PERBANDINGAN ANALISIS KASUS DENGAN MODEL KONSEPTUALISASI LAZARUS, DAN ABC.

1.    Contoh Kasus
FA adalah siswa disebuah SMA Negeri. Dia memiliki intelegensi yang cukup tinggi, rajin belajar, nilai-nilai prestasinya pun juga sangat bagus. Namun kedua orang tuanya tidak pernah menghargai usaha atas prestasi-prestasi belajar yang telah ia dapat selama ini. Orang tua FA hanya selalu menyalahkan dan selalu menuntut FA untuk jadi yang terbaik. Orang tua FA juga sangat sibuk dan tidak pernah memperhatikan anaknya. FA merasa sangat tidak berguna di depan kedua orang tuanya dan dia merasa tidak ada yang memperdulikan dirinya. FA memiliki sahabat yang selalu menemani dirinya disaat suka maupun duka. Mereka banyak memiliki teman yang rata-rata tidak menempuh pendidikan atau putus sekolah. FA banyak mengalami perubahan perilakunya sejak dia bergaul dengan teman-teman diluar sekolahnya tersebut. Dia lebih senang berada diluar rumah karena dia merasa bosan dan tertekan berada dirumahnya. Jika FA melakukan kesalahan orang tua hanya selalu menyalahkan dan ayahnya memarahi serta memukul klien. FA sering berkelahi dan pernah mencuri karena dorongan dari teman-temannya itu. Perubahan tingkah laku itu membuat dia sering berbuat onar dan membuat orang tuanya dipanggil oleh pihak sekolah. Karena ulahnya itu sehingga FA diberi sanksi oleh sekolah yaitu di skors selama 1 minggu. Setelah melihat perubahan yang dialami oleh FA, gurunya pun ikut membantu agar FA kembali seperti dulu lagi yaitu dengan memberikan bimbingan dan pemahaman atas masalah yang dihadapinya.






2.    Konseptualisasi Kasus Dengan Lazarus dan ABC.
a.    Model konseptualisasi Lazarus
Modalitas
Amatan
B : Perilaku
Klien berperilaku menyimpang seperti mencuri barang milik orang lain, berkelahi atau tawuran, dan malas untuk belajar.
A : Emosi
Merasa tertekan dan stres berada dirumah karena tuntutan orang tua yang terlalu tinggi.
S : Sensasi
Klien merasa tertekan atas tuntukan yang diberikan oleh orang tuanya.
I : imagery
Klien menganggap bahwa orang tuanya tidak pernah menghargai prestasi-prestasi yang telah dicapai selama ini. Klien juga menganggap bahwa orang tuanya tidak pernah menyayangi dia.
C : kognisi
Klien merasa tidak berguna di depan orang tuanya karena semua yang dilakukan klien tidak pernah benar dimata orang tuanya.
I : hubungan interpersonal
Kurangnya waktu luang yang dimiliki orang tua klien sehingga tidak adanya komunikasi yang baik antara klien dan orang tuanya.
D : kesehatan
Cara berpakaian atau penampilan klien tidak rapi dan kotor karena klien selalu berada diluar rumah dan tidak mendapat perhatian dari orang tua. Jika klien melakukan kesalahan ayahnya selalu memukul tubuh klien membuat kesehatan klien terganggu.

b.        Model konseptualisasi model ABC
1.      Antecedent (Peristiwa yang mendahului)
-        Pengaruh pergaulan negatif dari teman-teman di lingkungan luar.
-        Kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua kepada klien.
-        Klien tidak pernah diperhatikan oleh orang tuanya.
-        Klien tertekan dengan tuntutan orang tua yang terlalu tinggi.
-        Orang tua klien tidak pernah menghargai prestasi-prestasi belajar yang selama ini diperoleh klien.
-        Orang tua klien hanya selalu menyalahkan klien.
-        Klien merasa tidak berguna dihadapan orang tuanya.
2.      Behavior (Perilaku)
-        Klien berperilaku menyimpang seperti mencuri barang milik orang lain.
-        Klien sering terlibat perkelahian atau tawuran.
-        Klien menjadi malas untuk belajar sehingga membuat prestasi belajarnya menurun.
-        Klien lebih suka berada di luar rumah dan bergaul dengan teman-teman yang berperilaku menyimpang.
-        Klien suka menentang atau membantah kedua orang tuanya.
3.      Consequences (konsekuensia)
Karena perubahan tingkah laku yang dialami klien dan klien sering membuat ulah di sekolah sehingga orang tua klien dipanggil untuk datang ke sekolah dan membuat klien diberi peringatan oleh pihak sekolah yaitu di skors selama 1 minggu.

B.  ANALISIS MASALAH
1.      Pengertian Analisis Masalah
Dalam menguraikan suatu pokok masalah, kita perlu melakukan analisa masalah. Analisa menurut kamus bahasa Indonesia (dalam http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html) berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan atau perbuatan) untuk mengetahui keadaan sebenarnya (baik sebab maupun duduk perkara). Sehingga dengan melakukan suatu analisa, kita bisa menguraikan pokok permasalahan dari berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Berikut ini adalah pengertian dan definisi analisa:


a.       JEFFREY LIKE
dalam http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html) Jeffery Like mengemukakan Analisa adalah waktu untuk mengumpulkan bukti, waktu untuk berulangkali bertanya "mengapa?" dan untuk menemukan sumber suatu masalah, yaitu akarnya.
b.      Dwi Pratowo Darminto dan Rifka Julianty, memberikan definisi lain mengenai pengertian analisis. Menurut mereka analisis adalah sebuah langkah penjabaran sebuah permasalahan dari setiap bagian dan penelaahan bagian itu untuk mendapatkan pemahaman yang tepat serta arti yang keseluruhan dari masalah tersebut.
c.       Menurut Komaruddin, analisis merupakan sebuah aktivitas berpikir untuk menguraikan sebuah masalah yang menyeluruh menjadi beberapa bagian. Dengan demikian dapat diketahui ciri-ciri dari setiap komponen tersebut, serta bagaimana hubungan yang ada pada masing-masing komponen beserta fungsinya sehinga bisa membentuk sebuah kesatuan yang memiliki makna baru.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis masalah merupakan aktivitas berpikir untuk menguraikan suatu masalah menjadi lebih rinci berdasarkan data-data yang diperoleh.

2.    Fungsi Analisa
Analisa dalam http://zhilvia-zhilvia.blogspot.com/2012/11/konseptualisasi-model-dalam-konseling.html) merupakan sebuah komponen yang harus ada dalam setiap aktivitas penelitian.Tanpa adanya analisa, maka sebuah penelitian yang dilakukan tidak akan bisa didapatkan sebuah nilai tambah yang bermanfaat bagi masyarakat.
Ada beberapa fungsi yang menjadikan analisa atas sebuah masalah menjadi hal penting. Beberapa fungsi dari suatu analisa adalah :
1.    Analisa diperlukan sebagai upaya untuk mengenali dan proses identifikasi dari permasalahan yang ada pada penelitian yang dilakukan. Dengan demikian, pada nantinya, dari permasalahan yang muncul bisa diurai satu persatu mengenai apa saja yang memiliki hubungan atas munculnya sebuah masalah pada obyek penelitian.
2.    Analisa diperlukan untuk bisa memberikan keterangan secara spesifik dan terperinci mengenai hal-hal apa saja yang akan dicapai dalam upaya memenuhi kebutuhan dari obyek penelitian.
3.    Analisa yang tepat akan mempengaruhi kesimpulan sebuah penelitian. Untuk itu, dalam melakukan analisa atas hasil penelitian, seorang peneliti harus melakukan dengan hati-hati serta memperhitungkan berbagai macam faktor dan data yang didapat dalam penelitian tersebut.
4.    Hasil analisa akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan sebuah tindakan yang memiliki nilai lebih pada obyek penelitian. Dengan kata lain, hasil analisa akan mempengaruhi pembuatan kebijakan atau strategi.
5.     Analisa akan dibutuhkan sebagai media untuk mencari jalan alternatif atas permasalahan yang ditemukan dalam penelitian tersebut. Hal ini bisa dimungkinkan karena dalam proses analisa akan dilakukan tahapan penguraian masalah secara detail.
Analisa merupakan tahapan awal dalam proses perencanaan serta penerapan rancangan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dari obyek penelitian.
3.    Peran Analisa
Dengan adanya beberapa manfaat dari sebuah proses analisa tersebut, menunjukkan bahwa proses analisa ini memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kemajuan sebuah organisasi.
1.    Dengan analisa, sebuah organisasi akan bisa bergerak dari kondisi yang sudah ada, menuju pada kondisi yang lebih baik lagi.
2.    Selain itu, peran dari analisa adalah bisa melakukan deteksi apabila terjadi permasalahan dalam sebuah organisasi. Sehingga apabila ada hal yang kurang beres atau muncul kesalahan baik yang disegaja atau tidak bisa dicegah sejak awal.
3.    Melalui proses analisa, kita bisa melihat adanya kesempatan dalam aktiivtas yang kita lakukan. Sebab, dengan analisa ini kita bisa melihat potensi dan kekuatan yang ada pada diri sebuah kelompok  dan juga kesempatan yang terbuka. Selain itu, melalui proses analisa akan bisa ditentukan langkah yang bijak untuk menciptakan proses komando atau perintah dari setiap garis kelompok yang ada secara tepat.
4.    Tahap-Tahap Analisis Masalah.
1.    Langkah Analisis
 Langkah Analisis dalam http://sepucuktinta.blogspot.com/2012/10/langkah-langkah adalah langkah memahami kehidupan individu siswa, yaitu dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber. Dengan arti lain analisis merupakan kegiatan pengumpulan data tentang siswa yang berkenaan dengan bakat, minat, motif, kesehatan fisik yang dapat menghambat atau mendukung penyesuaian diri siswa. Alat-alat untuk keperluan analisis ini antara lain berupa; Tes prestasi belajar, Kartu pribadi siswa, Pedomana wawancara, Riwayat hidup, Catatan anekdot, Tes psikologis/Inventori, Daftar cek masalah, Angket, Sosiometri, dan Daftar cek.
2.    Langkah Sintesis
Sintesis adalah langkah menghubungkan dan merangkum data. Ini berarti bahwa dalam langkah sintesis peyuluhan mengorganisasian dan merangkum data sehingga tampak dengan jelas gejala-gejala atau keluhan-keluhan siswa. Rangkuman data ini haruslah dibuat berdasarkan data yang diperoleh dalam langkah analisis.
3.    Mengidentifikasi masalah peserta didik
Tingkah laku seorang peserta didik yang harus dipahami oleh guru. Jikalau tingkah laku murid itu tidak seperti biasanya di dalam kelas. Maka guru harus mencari tahu apa permasalahan yang di hadapi peserta didik. Dengan kata lain juga disebut dengan istilah identifikasi kasus. Menurut Syahril dan Riska, dalam http://sepucuktinta.blogspot.com/2012/10/langkah-langkahbimbingan-dan-konseling.html “identifikasi kasus yaitu usaha menemukan/menentukan siswa yang perlu mendapat bimbingan. Cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan ini adalah dengan jalan analisis hasil belajar, analisis karya tulis, pengisian DPM, observasi, sosiometri, dan sebagainya.
Artinya pada langkah ini, guru mengenali gejala-gejala awal suatu masalah yang dihadapi siswa. Untuk mengetahui gejala awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan memperhatikan gejala-gejala yang nampak, itulah yang disebut identifikasi kasus, kemudian dianalisis dan selanjutnya dievaluasi.
4.    Diagnosis
Setelah mengadakan identifikasi kasus atau dengan arti kata memperkirakan apa yang terjadi pada peserta didik, maka diadakan analisis masalah yang dihadapi peserta didik atau dengan kata lain menetapkan “masalah” yang berdasarkan analisis latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah, atau disebut dengan “diagnosis.”
Secara umum, http://diagnosis.askdefine.com/ diagnosis (diagnosa jamak) memiliki dua definisi kamus yang berbeda. Definisi pertama adalah "pengakuan suatu penyakit atau kondisi dengan tanda-tanda dan gejala luarnya", sedangkan definisi kedua adalah "analisis yang mendasari fisiologis / biokimia penyebab (s) dari suatu penyakit atau kondisi".
Di dalam situs wikipedia, “diagnosis adalah identifikasi mengenai sesuatu. Diagnosis digunakan dalam medis, ilmu pengetahuan, teknik, bisnis, dll.” (wikipedia.com). Diagnosis adalah langkah menemukan masalahnya atau mengindentifikasi masalah.
Selanjutnya langkah ini mencakup proses interpretasi data dalam kaitannya dengan gejala-gejala masalah, kekuatan dan kelemahan siswa. Dalam proses penafsiran data dalam hubungannya dengan penyebab masalah, peyuluhan haruslah menentukan penyebab masalah yang paling mendekati kebenaran atau menghubungkan sebab akibat yang paling logis dan rasional.
Dijelaskan oleh Syahril dan Riska Langkah diagnosis atau langkah yang kedua ini (dalam bukunya) adalah “untuk mengetahui jenis dan sifat kesulitan serta latar belakang masalah yang dihadapi seseorang. Berdasarkan langkah kedua inilah kita dapat menetapkan apa kira-kira masalah seseorang serta apa penyebab dari masalah tersebut.” (Syahril dan Riska Ahmad, 1987:86). Selanjut Syahril dan Riska menjelaskan “Cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan ini adalah dengan jalan analisis hasil belajar, analisis karya tulis, sosiometri, DPM, PSKB, angket, wawancara, observasi, pertemuan kasus, dan sebagainya.
Artinya dalam langkah ini dilakukan kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang melatarbelakangi gejala yang muncul.
5.    Prognosis
Menurut Sayhril dan Riska. “Prognosis merupakan usaha untuk menelaah/mengkaji masalah yang dialami seseorang, termasuk kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul jika masalah itu dibantu, serta memperkirakan teknik atau jenis bantuan yang akan diberikan kepada orang yang mengalami masalah tersebut. Prognosis adalah “suatu langkah mengenai alternatif bantuan yang dapat atau mungkin diberikan kepada siswa sesuai dengan masalah yang dihadapi sebagaimana yang ditemukan dalam langkah diagnosis.
Prognosis adalah istilah medis untuk memprediksi kemungkinan hasil dari kedudukan seseorang di saat ini. Ketika diterapkan pada populasi statistik yang besar, perkiraan prognosis bisa sangat akurat: misalnya pernyataan "45% pasien dengan syok septik parah akan mati dalam waktu 28 hari" dapat dibuat dengan beberapa keyakinan, karena penelitian sebelumnya menemukan bahwa proporsi pasien ini meninggal . Namun, jauh lebih sulit untuk menerjemahkan ini menjadi sebuah prognosis bagi seorang individu pasien:. Informasi tambahan diperlukan untuk menentukan apakah pasien milik 45% yang akan menyerah, atau ke 55% yang bertahan hidup.
Sebuah prognosis yang lengkap meliputi durasi yang diharapkan, fungsi, dan deskripsi dari perjalanan penyakit, seperti penurunan progresif, krisis intermiten, atau tiba-tiba, krisis tak terduga.
6.    Pemecahan masalah/Terapi /Treatment
langkah ini berupa usaha untuk melaksanakan bantuan ataupun bimbingan kepada seseorang yang bermasalah, sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan pada langkah yang ketiga (Prognosis). Usaha pemecahan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk bantuan, antara lain layanan individual, layanan kelompok, pengajaran perbaikan, pemberian pengajaran dan sebagainya.
7.    Penilaian (evaluasi)
Yaitu berupa usaha untuk melihat atau meninjau kembali hasil bantuan yang telah dilaksanakan. Langkah ini dapat dilakukan dengan melihat hasil belajar siswa yang bersangkutan, observasi tingkah laku sehari-hari dan sebagainya.
8.    Tindak Lanjut (Folow-Up)
Yaitu berupa usaha untuk mengambil tindakan seperlunya yang akan dilaksanakan sehubungan dengan hasil penilaian yang telah dilakukan.